Tayangan Slide Sang Sultan

inilah slideku...!!! trima kasih telah berkunjung ke blog saya, lembo ade yah...!!!

Tayangan Slide Sang Sultan

inilah slideku...!!! trima kasih telah berkunjung ke blog saya, lembo ade yah...!!!

Tayangan Slide Sang Sultan

inilah slideku...!!! trima kasih telah berkunjung ke blog saya, lembo ade yah...!!!

Tayangan Slide Sang Sultan

inilah slideku...!!! trima kasih telah berkunjung ke blog saya, lembo ade yah...!!!

Tayangan Slide Sang Sultan

inilah slideku...!!! trima kasih telah berkunjung ke blog saya, lembo ade yah...!!!

Tayangan Slide Sang Sultan

inilah slideku...!!! trima kasih telah berkunjung ke blog saya, lembo ade yah...!!!

Kamis, 10 Maret 2011

Pesona Pantai Torowamba


Toro Wamba merupakan salah satu Obyek Wisata yang berada di Kecamatan Sape tepatnya di Desa Lamere, dan berjarak 2 km dari pemukiman masyarakat lokal, dengan jarak lebih kurang 6 km dari Ibu Kota Kecamatan Sape. Obyek ini dapat dijangkau oleh kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua.

Toro Wamba menyajikan khas sajian alam daerah tropis, yaitu pantai dengan air yang jernih dengan hamparan pasir putih yang menawan, kemudian berbagai macam aktivitas yang dapat dilaksanakan oleh wisatawan seperti berenang, snorkling, diving, memancing, berjemur serta bersantai. Toro Wamba juga menyediakan akomodasi (penginapan) yang berartistik lokal yang dapat dijangkau wisatawan serta dikelola langsung oleh masyarakat setempat.

Seharusnya Toro Wamba ini ditata untuk dijadikan obyek wisata andalan bagi daerah Kabupaten Bima. Karena obyek ini akan dapat mendatangkan sumber Pemasukan Asli Daerah.


selamat berkunjung.....!!!




Museum Kebudayaan Samparaja Bima

Museum ini dibangun sejak tahun 1987 yang dirintis sekaligus didirikan oleh Hj. Siti Maryam R. Salahuddin (anak ke-7 Sultan Salahuddin – Raja Kesultanan Bima). Tujuan pendirian Museum Kebudayaan Samparaja ialah penyelamatan peninggalan Kesultanan Bima terutama naskah-naskah lama dari kepunahan sekaligus melestarikan nilai-nilai budaya daerah serta menjadikan museum sebagai sarana penelitian kebudayaan Bima. Status museum Kebudayaan Samparaja adalah museum pribadi yang terbuka untuk umum.

Koleksi yang dimiliki museum Kebudayaan Samparaja antara lain naskah-naskah lama berhuruf Arab dan berbahasa Melayu yang ditulis sekitar abad XVII - XIX Masehi. Naskah-naskah tersebut memuat berbagai ilmu pengetahuan dan sejarah pemerintahan Bima, hukum adat dan hukum Islam yang diterapkan di Bima, Ilmu Pertanian, kelautan, perbintangan, hubungan interaksi dengan daerah lain maupun pedagang dari negeri asing. Tidak ketinggalan Kitab La Nonto Gama menjadi koleksi utama juga yaitu berupa kitab-kitab Al Quran yang ditulis dengan tangan yang merupakan peninggalan langsung Kesultanan Bima. Selain kronik, manuskrip atau naskah-naskah lama, Museum Kebudayaan Bima juga mengoleksi benda etnografi budaya Bima, pakaian adat lama semasa Kesultanan Bima dari pakaian pangkat-pangkat adat, pakaian upacara adat, pakaian pengantin, pakaian adat anak-anak, ukiran kayu dan perak, serta keramik-keramik lama.

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka sebagian koleksi Museum Kebudayaan Samparaja terutama berupa naskah lama sudah dikonservasi dan didokumentasikan. Konservasi dilakukan dengan melaminasi naskah sebanyak hampir 2.500 lembar yang diperkirakan mampu bertahan antara 50 hingga 100 tahun yang akan datang. Pendokumentasian berupa digitalisasi dan mikro film juga telah dilakukan oleh Perpustakaan Nasional Jakarta yang mencakup hampir 2.200 lembar naskah lama. Sehingga keseluruhan naskah lama (manuskrip) yang sudah dilaminasi, didigitalisasi, dan dimikrofilmkan hampir berjumlah 4.700 lembar baik naskah lepas maupun yang dijilid.

Guna mempublikasikan hasil penelitian dan memudahkan dalam pencarian naskah, maka Museum Kebudayaan Samparaja menerbitkan beberapa buku antara lain Katalogus Naskah Bima yang berjudulKatalogus Naskah Melayu-Bima Jilid I dan II yang disusun oleh Hj. Siti Maryam R Salahuddin dan Sri Wulan Rujiati Mulyadi; dan Transliterasi Bo Sangaji Kai (catatan-catatan Kerajaan Bima) ke dalam huruf latin yang sebelumnya menggunakan aksara Arab bahasa Melayu yang disusun oleh Henri Chambert Loir dan Hj. Siti Maryam R Salahuddin. Kedua publikasi tersebut menjadi rujukan peneliti di Indonesia dan dunia dalam mempelajari sebagian kebudayaan Kesultanan Bima melalui naskah atau manuskrip yang ditinggalkannya.

Keberadaan museum ini perlu didukung oleh semua pihak baik sekedar perhatian maupun pendanaan, terlebih status museum tersebut merupakan museum pribadi yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Museum Kebudayaan Samparaja juga mengundang para peneliti dan ilmuwan untuk melakukan studi naskah (manuskrip) yang menyimpan kajian Islam yang diterapkan dalam sistem kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat di Bima pada zaman Kesultanan Bima.

Silahkan mengunjungi Museum Samparaja di Bima jika berkeinginan mempelajari lebih mendalam terkait pemerintahan Kerajaan Bima yang bernafaskan Islami.


Ditulis oleh:
Rochtri Agung Bawono.

RIMPU MBOJO YANG NYARIS KEHILANGAN MAKNA

Oleh : Yayi Sundari

Bima merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna.
Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.

Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.


Menurut sejarawan Bima, M. Hilir Ismail, keberadaan rimpu juga tak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan Nuruddin) untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun Bima yang sudah lama dikenal bahkan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laris sekitar abad 13 lampau. Sebab, pada masa itu, dou mbojo memanfaatkan melimpahnya tanaman kapas untuk dijadikan kain tenun yang menjadi komoditi perdagangan yang terjual hingga ke negeri Cina. Sejak saat itu, semua wanita yang sudah akil baliq diwajibkan memakai rimpu apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan keluarganya untuk sesuatu urusan. Kalau tidak, berarti sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat itu. “Hukumannya lebih kepada hukuman moral. Orang yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu”, ujarnya.


Keterangan Hilir diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. “Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri,” paparnya. Menurutnya, memakai rimpu pada masa itu semacam show (pertunjukan). “Ini loh kain hasil tenun saya. Saya sudah bisa menenun,” contohnya.


Keeratan hubungan rimpu dengan perkembangan islam pada masa itu tampak jelas. Dari keterangan pelaku sejarah, wanita Bima yang hidup pada masa itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib. Siapapun lelaki baik sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya. “Dengan tersingkapnya betis saja, wanita zaman dulu sudah merasa malu dan segera minta nikah. Mereka menganggap itu sebagai bentuk pelecehan (aib) terhadap wanita,” paparnya.


Rimpu merupakan busana yang terbuat dari dua lembar sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh. Satu lembar untuk mernutup kepala, satu lembar lagi sebagai pengganti rok. Sesuai penggunaannya, rimpu bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi gadis, memakai rimpu mpida—yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja dengan penggunaan cadar pada kaum wanita muslim. Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah kepala dan muka kemudian menyisakan ruang terbuka pada bagian mata. Sedangkan bagi kaum wanita yang telah bersuami memakai rimpu colo. Dimana bagian muka semua terbuka. Caranya pun hampir sama. Sedangkan untuk membuat rok, sarung yang ada cukup dililitkan pada bagian perut dan membentuknya seperti rok dan kemudian mentangkupkan pada bagian kanan dan kiri pinggang.


Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis

dengan yang telah bersuami, secara tidak langsung menjelaskan pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita pada zaman itu. Bagi kaum pria terutama yang masih lajang, melihat mereka yang mengenakan rimpu mpida merupakan pertanda baik. Apalagi, jika pria lajang tersebut sudah berkeinginan untuk segera berumah tangga. Dengan sendirinya, pria-pria lajang akan mencari tau keberadaan gadis incarannya dari sarung yang dikenakannya.


Seiring perkembangan zaman, keberadaan rimpu hampir terlupakan. Malah, beberapa tahun terakhir, sebagian besar masyarakat Bima yang beragama Islam beralih mengenakan jilbab dengan trend mode yang bermunculan. Parahnya, generasi-generasi sekarang sudah banyak yang tak mengenal rimpu. Kalaupun ada, mereka tak mengerti cara penggunaannya. Wanita Bima masa kini menganggap orang yang mengenakan rimpu sebagai wanita kolot dan kampungan.
Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo, Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima.


Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan sudah sepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah Bima seharusnya mulai memikirkan upaya teresbut, paling tidak sebuah kebijakan pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima.

Bima merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna.

Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.

Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.


Menurut sejarawan Bima, M. Hilir Ismail, keberadaan rimpu juga tak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan Nuruddin) untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun Bima yang sudah lama dikenal bahkan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laris sekitar abad 13 lampau. Sebab, pada masa itu, dou mbojo memanfaatkan melimpahnya tanaman kapas untuk dijadikan kain tenun yang menjadi komoditi perdagangan yang terjual hingga ke negeri Cina. Sejak saat itu, semua wanita yang sudah akil baliq diwajibkan memakai rimpu apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan keluarganya untuk sesuatu urusan. Kalau tidak, berarti sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat itu. “Hukumannya lebih kepada hukuman moral. Orang yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu”, ujarnya.


Keterangan Hilir diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. “Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri,” paparnya. Menurutnya, memakai rimpu pada masa itu semacam show (pertunjukan). “Ini loh kain hasil tenun saya. Saya sudah bisa menenun,” contohnya.


Keeratan hubungan rimpu dengan perkembangan islam pada masa itu tampak jelas. Dari keterangan pelaku sejarah, wanita Bima yang hidup pada masa itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib. Siapapun lelaki baik sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya. “Dengan tersingkapnya betis saja, wanita zaman dulu sudah merasa malu dan segera minta nikah. Mereka menganggap itu sebagai bentuk pelecehan (aib) terhadap wanita,” paparnya.


Rimpu merupakan busana yang terbuat dari dua lembar sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh. Satu lembar untuk mernutup kepala, satu lembar lagi sebagai pengganti rok. Sesuai penggunaannya, rimpu bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi gadis, memakai rimpu mpida—yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja dengan penggunaan cadar pada kaum wanita muslim. Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah kepala dan muka kemudian menyisakan ruang terbuka pada bagian mata. Sedangkan bagi kaum wanita yang telah bersuami memakai rimpu colo. Dimana bagian muka semua terbuka. Caranya pun hampir sama. Sedangkan untuk membuat rok, sarung yang ada cukup dililitkan pada bagian perut dan membentuknya seperti rok dan kemudian mentangkupkan pada bagian kanan dan kiri pinggang.


Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis dengan yang telah bersuami, secara tidak langsung menjelaskan pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita pada zaman itu. Bagi kaum pria terutama yang masih lajang, melihat mereka yang mengenakan rimpu mpida merupakan pertanda baik. Apalagi, jika pria lajang tersebut sudah berkeinginan untuk segera berumah tangga. Dengan sendirinya, pria-pria lajang akan mencari tau keberadaan gadis incarannya dari sarung yang dikenakannya.


Seiring perkembangan zaman, keberadaan rimpu hampir terlupakan. Malah, beberapa tahun terakhir, sebagian besar masyarakat Bima yang beragama Islam beralih mengenakan jilbab dengan trend mode yang bermunculan. Parahnya, generasi-generasi sekarang sudah banyak yang tak mengenal rimpu. Kalaupun ada, mereka tak mengerti cara penggunaannya. Wanita Bima masa kini menganggap orang yang mengenakan rimpu sebagai wanita kolot dan kampungan.
Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo, Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima.


Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan sudah sepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah Bima seharusnya mulai memikirkan upaya teresbut, paling tidak sebuah kebijakan pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima.

Rimpu Mbojo-Bima

Rimpu, mungkin banyak yang belum familiar dengan kata ini. Ya,, ini bahasa Bima,, rimpu adalah model pakaian wanita muslim di Bima untuk menutup auratnya. Diperlukan 2 kain sarung untuk melilit seluruh tubuhnya. Satu sarung untuk bagian kepala menjulur hingga perut, menutupi lengan dan telapak tangan. Satu lainnya, untuk dililitkan dari perut hingga ujung kaki (bahasa Bimanya: sanggentu).

Rimpu, menjadi cerminan masyarakat Bima yang menjunjung tinggi nilai keislaman, selain itu juga untuk melindungi diri ketika beraktivitas di luar rumah.

Rimpu ada beberapa model, diantaranya:


1. Rimpu Mpida, khusus buat gadis Bima atau yg belum berkeluarga. Model ini jg sering disebut cadar ala Bima, Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya, tapi bukan berarti gerak-geraknya dibatasi.
2. Rimpu Colo, ini rimpu buat ibu-ibu atau wanita yang sudah berkeluarga. Mukanya sudah boleh kelihatan. Di pasar-pasar tradisional, masih bisa ditemukan ibu-ibu yang memakai rimpu dengan sarung khas dari Bima yaitu tembe* nggoli.

*tembe:sarung

Bo' Sangaji Kai (Catatan Keraja'an Bima)

Kabupaten Bima, di bagian paling timur Propinsi NTB, pernah menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan berkuasa, berkat letaknya di tengah-tengah jalur perdagangan dari Malaka ke Maluku.

Sejak diislamkan oleh Makassar pada awal abad ke-17, Kerajaan Bima mulai mengembangkan sebuah kebudayaan baru yang berekspresi bahasa Melayu.

Bo' Sangaji Kai yang diedit dalam buku ini adalah kronik kerajaan tersebut yang ditulis di Istana Bima dari abad ke-17 sampai ke-19. Tujuan utamanya adalah merekam semua peristiwa penting dalam kehidupan negara; perang dan damai, silsilah raja-raja, upacara untuk para pembesar kerajaan, hubungan dengan beberapa kerajaan sekitarnya, urusan dagang, perjanjian dengan Kompeni Belanda, dan lain-lain.

Berbagai aspek lain dari masyarakat dan kebudayaan Bima ikut terekam pula, seperti perkembangan agama Islam, undang-undang, tata sosial, hukum tanah, pakaian kebesaran, dan lain sebagainya. Bo' Sangaji Kai merupakan sebuah dokumen yang luar biasa padat dan terperinci tentang kehidupan politik dan budaya sebuah kerajaan di bagian timur Indonesia pada masa Islam dan selama periode kolonial.

Penulis : Henry Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin
Jumlah Halaman : 642
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Harga : Rp 35.000
ISBN : 979-461-339-8

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites